Situational Leadership

Diskusi tentang "Situational Leadership"
Take it or Leave it

Dalam suatu sesi Tanya jawab training Leadership di Astra, seorang peserta menanyakan kepada saya (baca: mempertanyakan), Setelah sekian lama saya bekerja di perusahaan X, gaji yang saya terima tidak jauh berkembang, dan posisi saya juga seperti mandek, walaupun saya sudah meningkatkan competency saya?. Bagaimana ini? Haruskah saya keluar, atau saya tetap bekerja tetapi santai-santai saja?

Banyak perusahaan menerapkan gaji hanya berdasarkan 2 hal saja yaitu Position dan Performance. Seorang kepala Gudang, Manager, sudah tentu gajinya lebih tinggi daripada operator dengan posisi di bawahnya (pay for position). Seseorang dengan performance bagus, tentu akan memperoleh bonus lebih besar dari yang mempunyai performance pas-pasan (pay for performance). Begitulah gambaran umumnya. Namun, di beberapa perusahaan yang sangat memperhatikan competency, gaji seseorang dengan competency tinggi, pasti lebih besar juga (pay for person). Di rumah sakit ternama, seorang dokter spesialis akan memperoleh penghasilan lebih besar dari dokter umum. Seorang ahli pengelasan bawah air, akan disewa jauh lebih mahal dari tukang las pada umumnya. Itu karena competency mereka di "value" di atas tukang las biasanya. Contoh di atas adalah bagaimana perusahaan juga menerapkan pengupahan berdasarkan competency (pay for person).

Kembali ke pertanyaan di atas, jika kita sudah meningkatkan competency, namun perusahaan sebenarnya belum membutuhkannya, apakah kita layak meminta gaji lebih besar. Atau, dari sisi yang berbeda, jika kita hanya membutuhkan tukang las pagar, namun karyawan kita memiliki competency tukang las bawah air, apakah kita akan menggajinya seperti tukang las bawah air, dimana kita hanya perlu tukang las biasa. Setelah saya pertimbangkan maksud pertanyaannya, jawaban saya hanya singkat : Anda sudah selayaknya keluar dari perusahaan itu?. Kenapa? Ada 3 alasan saya menyarankan hal itu : 1) Competency anda tidak dibutuhkan disana, namun di luar mungkin dibutuhkan, 2) Jika anda bekerja setengah-setengah, anda rugi, perusahaan juga rugi, 3) Take it or leave it (if you can't change it). Sebagai pemimpin, kita harus dapat memutuskan dan menciptakan masa depan kita sendiri.

Yang menarik dibalik pertanyaan itu adalah bagaimana perusahaan menerapkan sIstem pengupahannya, selain berdasarkan struktur (position) dan kinerja (performance), juga apakah telah mempertimbangkan competency dari karyawannya. Pengakuan competency digolongkan menjadi 2, yaitu Recognize Current Competency (RCC) dan Recognize Prior Learning (RPL). Jika kita meningkatkan competency dengan cara sekolah khusus, training, workshop, kuliah master, dll (certified) dapat digolongkan sebagai RCC, sedangkan jika kita bertumbuh karena pengalaman kerja, skill yang dilatih terus menerus, self learning, secara umum dikategorikan RPL. Kedua-duanya memang layak di value lebih tinggi idealnya.

Namun, yang sering terjadi adalah, competency karyawan terbangun tidak selaras dengan competency yang di inginkan organisasi. Definisi GAP competency yang sering saya dengar, adalah GAP antara competency yang diinginkan perusahaan dengan competency Karyawan saat itu. Secara konsep, itu kurang tepat dan berbahaya. Yang benar adalah Competency apa yang perusahaan harus miliki? (sesuai tantangan bisnis saat itu, dan kedepannya) Vs competency Karyawan saat itu. Penekanannya adalah competency yang harus dimiliki perusahaan untuk tetap bersaing. Artinya, gap competency bisa terjadi antara perusahaan dengan market. Disinilah peranan HR mendefinisikan apa tantangan ke depan perusahaan, sehingga penyiapan SDM bisa pas, tidak mendahului atau bahkan terlambat. Jika tidak pas, bisa jadi kita akan kehilangan SDM yang berkualitas, atau SDM yang telah meredup motivasinya.

Sebagai pembuat strategi organization development, apa yang terpikir oleh kita? Apakah struktur organisasi, competency berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari seharusnya? Selamat merenung !!

 

By: Kadek Budiawan