'Employee Engagement', sudahkah tercipta dalam Organisasi Anda?

Oleh: Made Sudaryani - Managing Director D&D Consulting

Employee engagement merupakan isu penting dalam organisasi. Kata engagement dalam bahasa Indonesia berarti bertunangan, bisa dibayangkan jika hubungan antara karyawan dan perusahaan adalah engagement, pastinya karyawan akan mempunyai perasaan memiliki, rela berkorban, termotivasi untuk memberikan yang terbaik dan memiliki pride yang tinggi terhadap perusahaan. Sehingga dengan terciptanya employee engagement, kekhawatiran perusahaan terhadap talent war atau pembajakan talented people dalam organisasi akan sirna dan produktivitas perusahaan akan meningkat sehingga meningkatkan daya saing perusahaan serta menjamin keberlangsungan bisnis perusahaan.

Dalam contoh kasus, sebagai perusahaan besar dan ternama PT. XYZ sebut saja namanya demikian, merupakan idaman dari para pencari kerja sehingga tak pelak PT. XYZ masuk dalam kategori the most admire company, mengingat begitu banyak lulusan-lulusan terbaik dalam dan luar negeri yang berjuang dan berlomba-lomba untuk menjadi bagian dari keluarga besar PT. XYZ. Belum lagi antrian para manajemen lini yang berharap besar untuk dapat di-hijack oleh PT. XYZ. Pencapaian ini dirasakan sebagai pencapaian yang luar biasa bagi manajemen PT. XYZ dan departemen HR, sehingga manajemen puncak dan departemen HR terlena dan hanyut dengan pencapaian tersebut sehingga mereka lupa untuk melakukan employee engagement survey bagi seluruh karyawan.

Kembali ke PT. XYZ, sebagai the most admire company, dalam bayangan kita seluruh karyawan PT. XYZ merasa bahagia, bangga dan beruntung menjadi bagian dari organisasi, namun apakah perasaan ini sungguh-sungguh dirasakan oleh setiap karyawan?

Kasus yang terjadi di PT. XYZ, dimana karyawan merasa diperlakukan kurang adil. Tidak sebanding dengan nama besar yang sandang oleh perusahaan. Walaupun PT. XYZ memiliki sistem manajemen SDM yang baik, namun dirasakan kurang berarti oleh karyawan karena tidak ditunjang dengan aspek leadership, fairness dan keterbukaan. Ketiga aspek ini yang merupakan isu penyebab menurunnya tingkat engagement karyawan.

Leadership, merupakan aspek yang sangat kritikal dalam organisasi. Leadership membawa organisasi menuju kesuksesan atau kehancuran; leadership membawa people dalam organisasi untuk berkomitmen atau tercerai berai; leadership pula yang mampu membangkitkan semangat untuk menang atau menyiram api semangat sehingga padam. Leadership merupakan jiwa organisasi untuk membangkitkan engagement karyawan. Dalam suatu kasus, dimana seorang leader enggan untuk turun kebawah, menyapa secara langsung para karyawannya, memberikan apresiasi terhadap pencapaian karyawan atau bahkan selalu menjadikan karyawan sebagai tameng untuk cuci tangan jika terjadi suatu masalah; bagaimana mungkin leader seperti itu dapat menginspirasi dan membangun engagement karyawan. Alih-alih terciptanya engagement, karyawan malah dengan senang hati mengundurkan diri jika mendapat kesempatan yang lebih baik. Leader harus mamapu menciptakan iklim komunikasi yang saling mempercayai (trust), dan memberikan banyak ruang untuk bisa terjalin komunikasi yang baik, sehingga masalah-masalah yang terjadi dapat dengan cepat diatasi.

Fairness adalah sesuatu yang dirasakan karyawan dan dapat membangun komitmen dalam bekerja. Fairness bukan berarti mendapatkan porsi yang sama, namun mendapatkan porsi yang berimbang sesuai dengan pencapaian dan kontribusi yang diberikan. Dalam beberapa kasus organisasi telah menerapkan sistem manajemen kinerja dengan KPI dan target yang spesifik untuk setiap unit kerja dan karyawan yang merupakan cascading/turunan dari KPI korporat. Peningkatkan target produksi, penjualan, dan efisiensi terus digenjot dari tahun ke tahun, namun sayang peningkatan benefit yang dirasakan karyawan tidak sebanding dengan peningkatan kontribusi karyawan. Hal ini lambat laun akan membuat karyawan merasa diperlakukan hanya sebagai sapi perah atau sebagai alat untuk memenuhi pencapaian financial korporat. Jika perasaan ini sudah muncul dalam benak dan hati karyawan, maka employee engagement merupakan angan-angan belaka. Dan kita akan semakin banyak menemukan karyawan yang mematikan alat komunikasi mereka dalam kondisi diluar jam kerja, agar tidak terganggu oleh hal-hal yang berbau urusan kantor, hal ini akan sangat menyulitkan perusahaan disituasi-situasi yang kritis. Karyawan juga akan menurunkan produktivitasnya secara langsung atau tidak, sehingga sasaran-sasaran organisasi dicapai dengan usaha yang lebih, atau bahkan tidak tercapai tepat waktu.

Keterbukaan, pertanyaan yang sangat mudah diucapkan, Sudahkan Perusahaan terbuka kepada karyawannya?? Dari mulai pencapaian financial: revenue, profit, employee productivity dibandingkan dengan kompetitor; sistem manajemen SDM yang diterapkan terutama yang berkaitan dengan mekanisme career management, reward & recognition, dll. Banyak perusahaan yang sudah sangat transparan kepada karyawannya dalam career management dan pemberian reward & recognition, namun jauh lebih banyak perusahaan yang berusaha untuk menutupi keadaan yang sesungguhnya, untuk menghindari obligasi terhadap karyawan. Jika hal ini terjadi bersiaplah hanya akan tersisa karyawan yang kurang memiliki daya saing dalam perusahaan, karena karyawan yang competent akan secepatnya berpindah ke perusahaan lain.

Dalam banyak kasus (misalnya PT. XYZ) aspek leadership dan fainess lebih dominan dalam menurunkan engagement karyawan. Semakin lama, karyawan merasakan jarak mereka dengan para pimpinan level tertentu semakin jauh, kebiasaan management walking around untuk bertatap muka dan berdiskusi dirasakan semakin jarang, kalaupun ada hanya sekedar melaksanakan prosedur tanpa diikuti dengan keinginan tulus dari para pimpinan. Atau yang sering terjadi adalah direct task (top down) tentang target-target yang harus dicapai, dengan minimum feedback. Begitu pula apa yang dirasakan karyawan terkait dengan fairness, dari tahun ke tahun target produksi dan revenue semakin digenjot, target efisiensi yang semakin diperketat, namun tidak diimbangi dengan reward yang proporsional, sehingga lambat laun karyawan merasa menjadi bagian yang terpisah dari perusahaan. Hal ini sangat jelas menurunkan engagement karyawan, sehingga jangan heran hanya segelintir saja manajemen-manajemen lini yang siap dihubungi diluar waktu kerja jika terjadi masalah dalam organisasi.

Sebagai pimpinan dan pemegang fungsi HR, apakah kita sudah memahami isu Employee Engagement? dalam organisasi kita dan bersiap untuk mengatasinya?

Turned on people figure out how to beat the competition, Turned off people only complain about being beaten by the competition.en Simonton Author of Leading People to Be Highly Motivated And Committed